Sunday, June 3, 2018

APLIKASI UUD 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPANBERMASYARAKAT DI INDONESIA


IMPLEMENTASI UUD RI TAHUN 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama                                                 : Brema Risky Karo Karo
Nim                                                   : 1605022094
Kelas/Prodi/jurusan                            : SI-4D/TEKNIK SIPIL/TEKNIK SIPIL
Dosen Pengampu                               : Pdt. Benget Napitupulu

2018
POLITEKNIK NEGERI MEDAN

Kata Pengantar
Puji syukur , banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Kebebasan Beragama”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Seluruh Teman Sekolah dan segenap keluarga besar Asrama yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.





Medan, 3 juni  2018




Penyusun  




DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................. 1

Daftar Isi....................................................................................................................................... 2

Bab I : Pendahuluan..................................................................................................................... 3

1.1  Latar Belakang.................................................................................................................. 3

1.2  Rumusan Masalah............................................................................................................. 5


Bab II : Pembahasan..................................................................................................................... 6


Bab III : Pemecahan Masalah....................................................................................................... 8

3.1   Pengertian hak Kebebasan Beragama.............................................................................. 8

3.2    Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?........................ 12

3.3  Penerapan Bergama Di Indonesia................................................................................... 13


Bab IV : Penutup dan saran ....................................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
      Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. HAM juga merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
       Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
    Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
    Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
    John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
 Menurut Prof. Dr. Dardji darmodiharjo, S.H, HAM adalah hak-hak dasar / pokok yang dibawa manusisejak lahir sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa.
Laboratorium pancasila IKIP Malang menyebutkan bahwa HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
   Prof. Mr. Kuntjono Purbo pranoto, HAM adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dipisahkan hakikatnya.
   Koentjoro Poerbapranoto ( 1976 ), Hak Asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
   UU No 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kerhormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 
   Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi Manusia itu merupakan suatu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia kemudian hak tersebut juga harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan dan harkat martabat.




1.2     Rumusan masalah
Adapaun rumusan masalah yang ingin penulis cari permasalahannya ialah:
1.      Apakah maksud dari Hak kebebasan beragama tersebut ?
2.      Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
3.      Bagaimana penerapan kebebasan beragama di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
    Negara Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk tersebut, tidak menutup kemungkinan jika Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukkan yang sangat besar, terlebih lagi dalam urusan memilih kepercayaan. Selain itu, warga negara Indonesia juga dikenalkan dengan sikap saling toleransi yang sudah dipelajari dari sejak kecil hingga dewasa.
    Namun akhir-akhir ini, sikap toleransi yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia kini telah mulai menghilang sedikit demi sedikit. Hal tersebut dapat terlihat ketika banyak sekali aksi-aksi yang mengintimidasi kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai “aliran sesat”. Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap agama.
    Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang berbeda dari agama resmi. Kebebasan memeluk agama di indonesia sudah dijamin dalam konstitusi yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
    Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
   Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945  selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

BAB III
PEMECAHAN MASALAH
3.1    Pengertian Hak Kebebasan Beragama
      Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Definisi hak kebebasan beragama secara formal terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”
   Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak kebebasan beragama yang terdiri dari hak untuk beragama, hak untuk berganti agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.
    Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah badan independen yang terdiri dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau keyakinan sebagai :“ Theistic, non-theistic and atheistic belief, as well as the right not to profess any religion or belief.” Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa agama atau keyakinan dapat berbentuk ketuhanan, non ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak mengakui sama sekali agama atau keyakinan tertentu
    Di AS pemahaman mengenai freedom of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004, dalam Triyanto, 2008).
    Pengertian kebebasan beragama seperti yang ada dalam deklarasi umum PBB tentu saja bersifat sangat liberal, dan nampak didominasi budaya Barat. Ini berbeda dengan konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Itu juga yang menjadi penyebab, mengapa dalam pengambilan keputusan mengenai DUHAM, khususnya pasal mengenai kebebasan beragama, utusan Arab Saudi di PBB bersikap abstain. Karena menurut hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam, atau tidak bertuhan berarti murtad atau kafir.
   Sebagai reaksi terhadap Deklarasi Umum HAM yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada akhirnya,tahun 1990, membuat sebuah deklarasi HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Cairo Declaration ( Deklarasi Kairo/DK). DK bejumlah 30 pasal yang mengatur HAM, baik dalam bidang hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu hak yang diatur dalam DK adalah hak kebebasan beragama.
Pembukaan Deklarasi Kairo berbunyi demikian:
 “Berkeinginan untuk memberikan sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya yang terakhir.”
Pasal 10 Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
 “Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis.”(lihat Eka A. Aqimuddin, 2009).
   Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
   Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
   Soalnya adalah, jika dalam DUHAM, Deklarasi Kairo maupun di dalam UU HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin, mengapa masih ada kekerasan atas nama agama?
   Dalam serangkaian kasus kekerasan berbasis agama di Indonesia akhir-akhir ini, kita dapat melakukan analisis berdasarkan pada ketentuan normatif yang berlaku, baik yang ada dalam DUHAM, DK, UUD’45, UU HAM maupun KUHP. Kasus-kasus tersebut di atas tadi memperlihatkan bahwa berbagai ketentuan HAM maupun perundangan-undangan telah dilanggar.
   Soalnya adalah, siapa yang harus menjamin agar para pemeluk agama dan keyakinan yang menoritas ini dapat melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya itu dengan tenang, aman dan tanpa ancaman?
   UUD’45 pasal 18 telah menyebutkan bahwa negarah, khsusunya pemerintahlah yang berkewajiban untuk menghormati, melindungi, memajukan dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
   Demikian juga UU No.39/1999 pasal 71 dan 72 menegaskan bahwa jaminan itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.
 Seutuhnya bunyi UU 39/1999 mengenai HAM, (Pasal 71) adalah demikian :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.
    Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara, dan bidang lain. (Pasal 72)
    Tentu ada masalah, ketika undang-undang telah memberikan mandat, tetapi dalam praktiknya di lapangan,  aparat keamanan negara terkesan membiarkan kelompok-kelompok “penguasa dunia moral” dengan cara brutal menghakimi kelompok lain yang agama dan keyakinannya berbeda. Ada apa semua ini? Ada yang bilang bahwa semua itu adalah strategi elite penguasa untuk mengalihkan isu Bank Century, kasus Gayus, kasus cek perjalanan terkait pemilihan Gubernur BI. Ada juga yang menduga polisi di tingkat bawah takut dituduh melanggar HAM, dan takut dihukum oleh atasannya jika bertindak keras; ada analisis lain yang melihatnya sebagai akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah, dan sebagainya.
    Ditengah berbagai ketidakmenentuan ini, termasuk ketidakmenentuan analisis terhadap berbagai kasus kekerasan berbasis agama tersebut, maka sudah waktunya dibangun gerakan advokasi yang kuat, agar yang tidak menentu itu bisa lebih pasti. Terutama kepastian bahwa mereka yang melanggar hukum harus ditindak secara tegas, sesuai peraturan yang berlaku. 



3.2     Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
     Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan suatu organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
     Pada prakteknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Sebenarnya yang dimaksud Bakor Pakem adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).
       Tim Pakem ini bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (“JAI”), misalnya, Tim Pakem memberikan rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras sekaligus perintah penghentian kegiatan.

3.3    Penerapan Kebebasan beragama di Indonesia
     Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia. Pasal tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia.Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama. Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
    Di Indonesia sendiri kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah secara resmi mengakui enam agama, dan beberapa larangan hukum terus berlaku terhadap beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu yang dianggap dapat menyinggung agama lain. Kebebasan beragama dianggap diatur secara tertulis pada undang-undang dengan tujuan agar HAM masyarakat dapat terwujud dengan baik dan benar. Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya menyalahkan tindakan-tindakan anarkis yang dilakukan atas dasar agama tertentu. Namun fakta berbicara lain sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum di Indonesia penerapan peraturan mengenai kebebasan beragama masih kurang tegas dalam pelaksanaannya.
    Contohnya saja kasus jemaat Ahmadyah yang diperlakukan bak buruan. Sudah puluhan kali rumah dan masjid mereka dibakar. Dan tragedi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tahun 2011 lalu, semakin membuat kita prihatin. Penyerang tak hanya membakar rumah, tapi juga membunuh tiga anggota Ahmadiyah. Kebrutalan itu seolah didiamkan oleh polisi di sana. Kepolisian setempat beralasan, jumlah personel tidak cukup untuk menghadang kelompok yang menyerang Ahmadiyah. Dalih seperti ini sulit dipahami oleh akal sehat. Kalaupun fakta itu benar, bukankah mereka bisa meminta bantuan polisi di daerah lain? Jika aparat terdesak, kenapa pula tidak menghalau lewat tembakan peringatan?
     Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan, ada kemungkinan peristiwa itu bisa dicegah. Ia kemudian berjanji akan menghukum siapa pun yang terbukti lalai dan bersalah, entah itu polisi, personel pemerintah daerah, anggota Ahmadiyah, maupun massa penyerang.
    Masalahnya, publik telanjur kurang percaya bahwa pemerintah benar-benar akan bertindak tegas. Orang juga ragu akan kemampuan pemerintah menyelesaikan urusan Ahmadiyah secara tuntas. Sebab, insiden seperti itu sudah terlalu sering terjadi, dan pemerintah selalu tak mampu melindungi anggota Ahmadiyah. Pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini justru semakin kerap menjadi sasaran penyerangan setelah pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama pada 2008. SKB yang diteken oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu melarang kegiatan Ahmadiyah.
    Di situ sebenarnya juga diatur bahwa masyarakat tak boleh main hakim terhadap anggota Ahmadiyah, tapi ketentuan ini terbukti tidak efektif. Surat keputusan itu justru dijadikan alat oleh sekelompok masyarakat untuk melegalkan penyerangan. Warga Ahmadiyah dianggap melanggar surat itu karena mereka menyiarkan ajaran sesat. Pemerintah mestinya mencabut aturan yang kontroversial ini. Namun apa daya rupanya pemerintah belum melakukan apapun yang berarti untuk mencegah kasus ini terjadi.
    Ini menjadi bukti bahwa penegakan kebebasan beragama di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kebebasan untuk mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya juga banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa dijadikan rujukan, data terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat yang memasukkan Indonesia dalam daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama Afganistan, Bangladesh, Belarus, Kuba, Mesir, dan Nigeria perlu dicermati ulang. Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan tahun 2006 ini cukup membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hak-hak beragama warganya.





BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
    Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi setiap orang. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama.
      Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama orang lain. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain
4.2 SARAN
agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama .
Untuk senantiasa memelihara dan mewujudkan 3 model hidup yang meliputi:
Kerukunan hidup antar umat seagama
Kerukunan hidup antar umat beragama
Kerukunan hidup antar umat beragama dan Pemerintah
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa. Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntutan agama masing-masing



No comments:

Post a Comment