IMPLEMENTASI UUD
RI TAHUN 1945 PASAL 29 AYAT 2 DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nama :
Brema Risky Karo Karo
Nim :
1605022094
Kelas/Prodi/jurusan :
SI-4D/TEKNIK SIPIL/TEKNIK SIPIL
Dosen Pengampu :
Pdt. Benget Napitupulu
2018
POLITEKNIK
NEGERI MEDAN
Kata
Pengantar
Puji syukur , banyak nikmat yang
Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul ”Kebebasan Beragama”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh
banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada: Seluruh Teman Sekolah dan segenap keluarga besar
Asrama yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu
besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa
memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Medan,
3 juni 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................................. 1
Daftar Isi....................................................................................................................................... 2
Bab I :
Pendahuluan..................................................................................................................... 3
1.1 Latar
Belakang.................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................................. 5
Bab II :
Pembahasan..................................................................................................................... 6
Bab III :
Pemecahan Masalah....................................................................................................... 8
3.1 Pengertian hak Kebebasan Beragama.............................................................................. 8
3.2 Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu
agama dikatakan sesat ?........................ 12
3.3 Penerapan
Bergama Di Indonesia................................................................................... 13
Bab IV :
Penutup dan saran ....................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak
dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat
dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang
bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini
dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian
masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung
dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. HAM juga
merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
(Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM). Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku
di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak
ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya
juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan
sesama manusia.
Pada setiap hak melekat
kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga kewajiban asasi
manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya
hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh
orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga
diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka
bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak
manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri
manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu
usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Menurut pendapat Jan Materson (dari
komisi HAM PBB), dalam Teaching Human
Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa
HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John
Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”
Menurut Prof. Dr.
Dardji darmodiharjo, S.H, HAM adalah hak-hak dasar / pokok yang dibawa manusisejak
lahir sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan Yang Maha Esa.
Laboratorium pancasila IKIP Malang menyebutkan bahwa HAM
adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa.
Yang Maha Esa.
Prof. Mr. Kuntjono Purbo pranoto, HAM adalah
hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dipisahkan hakikatnya.
Koentjoro Poerbapranoto ( 1976 ), Hak Asasi
adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
UU No 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kerhormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa Hak Asasi
Manusia itu merupakan suatu hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipisahkan dari diri
manusia kemudian hak tersebut juga harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan dan harkat
martabat.
1.2 Rumusan
masalah
Adapaun rumusan masalah yang ingin
penulis cari permasalahannya ialah:
1.
Apakah maksud dari Hak kebebasan beragama tersebut ?
2.
Siapa yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
3.
Bagaimana penerapan kebebasan beragama di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Negara Indonesia dikenal sebagai salah
satu negara yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak di dunia. Dengan banyaknya
jumlah penduduk tersebut, tidak menutup kemungkinan jika Indonesia merupakan
negara dengan tingkat kemajemukkan yang sangat besar, terlebih lagi dalam
urusan memilih kepercayaan. Selain itu, warga negara Indonesia juga dikenalkan
dengan sikap saling toleransi yang sudah dipelajari dari sejak kecil hingga
dewasa.
Namun akhir-akhir ini, sikap toleransi
yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia kini telah mulai menghilang
sedikit demi sedikit. Hal tersebut dapat terlihat ketika banyak sekali
aksi-aksi yang mengintimidasi kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai
“aliran sesat”. Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk
kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap agama.
Dalam negara yang mengamalkan kebebasan
beragama, agama-agama lain bebas dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas
pengikut kepercayaan lain yang berbeda dari agama resmi. Kebebasan memeluk
agama di indonesia sudah dijamin dalam konstitusi yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama.
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa
pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1)
UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada
pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut
dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam
undang-undang.
BAB III
PEMECAHAN MASALAH
3.1 Pengertian Hak
Kebebasan Beragama
Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18).
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan (Pasal 18). Definisi hak kebebasan beragama secara formal
terdapat dalam DUHAM, tepatnya dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hak ini
termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk
menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.”
Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak
kebebasan beragama yang terdiri dari hak untuk beragama, hak untuk berganti
agama, hak untuk mengamalkan agama dengan cara mengajarkannya, melakukannya
baik secara sendiri ataupun kelompok dan di tempat umum atau tempat pribadi.
Pada tahun 1993 Komite HAM PBB dan sebuah
badan independen yang terdiri dari 18 orang ahli menjelaskan agama atau
keyakinan sebagai :“ Theistic, non-theistic and atheistic belief, as well as
the right not to profess any religion or belief.” Definisi tersebut telah
menjelaskan bahwa agama atau keyakinan dapat berbentuk ketuhanan, non
ketuhanan, tidak bertuhan dan tidak mengakui sama sekali agama atau keyakinan
tertentu
Di AS pemahaman mengenai freedom
of religion, baik dalam arti positif maupun negatif seperti diungkapkan Sir
Alfred Denning bahwa kebebasan beragama berarti bebas untuk beribadah atau
tidak beribadah, meyakini adanya Tuhan atau mengabaikannya, beragama Kristen
atau agama lain atau bahkan tidak beragama (Azhary, 2004, dalam Triyanto,
2008).
Pengertian kebebasan beragama seperti
yang ada dalam deklarasi umum PBB tentu saja bersifat sangat liberal, dan
nampak didominasi budaya Barat. Ini berbeda dengan konsep kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia mengandung konotasi positif. Artinya, tidak ada
tempat bagi ateisme atau propaganda antiagama di Indonesia. Itu juga yang
menjadi penyebab, mengapa dalam pengambilan keputusan mengenai DUHAM, khususnya
pasal mengenai kebebasan beragama, utusan Arab Saudi di PBB bersikap abstain.
Karena menurut hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam, atau tidak
bertuhan berarti murtad atau kafir.
Sebagai reaksi terhadap Deklarasi Umum HAM yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka Organisasi Konferensi Islam
(OKI), pada akhirnya,tahun 1990, membuat sebuah deklarasi HAM yang berlandaskan
hukum Islam. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Cairo Declaration (
Deklarasi Kairo/DK). DK bejumlah 30 pasal yang mengatur HAM, baik dalam bidang
hak sipil dan politik juga hak ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu hak yang
diatur dalam DK adalah hak kebebasan beragama.
Pembukaan Deklarasi Kairo berbunyi demikian:
“Berkeinginan untuk memberikan
sumbangan terhadap usaha-usaha umat manusia dalam rangka menegakkan hak-hak
asasi manusia, melindungi manusia dari pemerasan dan penindasan, serta
menyatakan kemerdekaan dan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak sesuai
dengan syariat Islam. Bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam
merupakan bagian integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya
berhak untuk menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau
mengabaikanya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci
mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui nabi-Nya
yang terakhir.”
Pasal 10 Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
“Islam adalah agama yang murni
ciptaan alam (Allah SWT). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun
atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan seseorang untuk
mengubah agamanya atau menjadi atheis.”(lihat Eka A. Aqimuddin, 2009).
Di Indonesia, kebebasan beragama dan
berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan bahwa
negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29
ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi
dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan
berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang
memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara
publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam
pengajaran dan peribadatannya.
Soalnya adalah, jika dalam DUHAM, Deklarasi
Kairo maupun di dalam UU HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin,
mengapa masih ada kekerasan atas nama agama?
Dalam serangkaian kasus kekerasan berbasis
agama di Indonesia akhir-akhir ini, kita dapat melakukan analisis berdasarkan
pada ketentuan normatif yang berlaku, baik yang ada dalam DUHAM, DK, UUD’45, UU
HAM maupun KUHP. Kasus-kasus tersebut di atas tadi memperlihatkan bahwa
berbagai ketentuan HAM maupun perundangan-undangan telah dilanggar.
Soalnya adalah, siapa yang harus menjamin agar
para pemeluk agama dan keyakinan yang menoritas ini dapat melaksanakan ajaran
agama dan kepercayaannya itu dengan tenang, aman dan tanpa ancaman?
UUD’45 pasal 18 telah menyebutkan bahwa
negarah, khsusunya pemerintahlah yang berkewajiban untuk menghormati,
melindungi, memajukan dan memenuhi Hak Asasi Manusia.
Demikian juga UU No.39/1999 pasal 71 dan 72
menegaskan bahwa jaminan itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya.
Seutuhnya bunyi UU 39/1999 mengenai HAM, (Pasal 71) adalah demikian :
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati,melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur
dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik
Indonesia”.
Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
sebagaimana diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan negara,
dan bidang lain. (Pasal 72)
Tentu ada masalah, ketika undang-undang
telah memberikan mandat, tetapi dalam praktiknya di lapangan, aparat
keamanan negara terkesan membiarkan kelompok-kelompok “penguasa dunia moral”
dengan cara brutal menghakimi kelompok lain yang agama dan keyakinannya
berbeda. Ada apa semua ini? Ada yang bilang bahwa semua itu adalah strategi
elite penguasa untuk mengalihkan isu Bank Century, kasus Gayus, kasus cek
perjalanan terkait pemilihan Gubernur BI. Ada juga yang menduga polisi di
tingkat bawah takut dituduh melanggar HAM, dan takut dihukum oleh atasannya
jika bertindak keras; ada analisis lain yang melihatnya sebagai akibat dari
kepemimpinan nasional yang lemah, dan sebagainya.
Ditengah berbagai ketidakmenentuan ini,
termasuk ketidakmenentuan analisis terhadap berbagai kasus kekerasan berbasis
agama tersebut, maka sudah waktunya dibangun gerakan advokasi yang kuat, agar
yang tidak menentu itu bisa lebih pasti. Terutama kepastian bahwa mereka yang
melanggar hukum harus ditindak secara tegas, sesuai peraturan yang
berlaku.
3.2 Siapa
yang berhak menyatakan bahwa suatu agama dikatakan sesat ?
Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan suatu
organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden, setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri.
Pada prakteknya, ada Badan
Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem.
Sebenarnya yang dimaksud Bakor Pakem adalah Tim Koordinasi Pengawasan
Kepercayaan yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Jaksa Agung RI No.: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).
Tim Pakem ini bertugas
mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di kalangan
masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi
untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang
harus diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (“JAI”), misalnya, Tim
Pakem memberikan rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras
sekaligus perintah penghentian kegiatan.
3.3 Penerapan
Kebebasan beragama di Indonesia
Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat
tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” Pasal ini merupakan bentuk
perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia. Pasal tersebut
juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan
bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi
semua agama yang berkembang di Indonesia.Konsepsi satu untuk semua merupakan
kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan
bangsa.
Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia
mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antaragama.
Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Di Indonesia sendiri kebebasan beragama
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah secara resmi mengakui enam
agama, dan beberapa larangan hukum terus berlaku terhadap beberapa jenis
kegiatan keagamaan tertentu yang dianggap dapat menyinggung agama lain.
Kebebasan beragama dianggap diatur secara tertulis pada undang-undang dengan
tujuan agar HAM masyarakat dapat terwujud dengan baik dan benar. Dengan kata
lain, pemerintah sebenarnya menyalahkan tindakan-tindakan anarkis yang
dilakukan atas dasar agama tertentu. Namun fakta berbicara lain sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara umum di Indonesia penerapan peraturan mengenai
kebebasan beragama masih kurang tegas dalam pelaksanaannya.
Contohnya saja kasus jemaat Ahmadyah yang
diperlakukan bak buruan. Sudah puluhan kali rumah dan masjid mereka dibakar.
Dan tragedi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, tahun 2011 lalu, semakin membuat
kita prihatin. Penyerang tak hanya membakar rumah, tapi juga membunuh tiga
anggota Ahmadiyah. Kebrutalan itu seolah didiamkan oleh polisi di sana.
Kepolisian setempat beralasan, jumlah personel tidak cukup untuk menghadang
kelompok yang menyerang Ahmadiyah. Dalih seperti ini sulit dipahami oleh akal
sehat. Kalaupun fakta itu benar, bukankah mereka bisa meminta bantuan polisi di
daerah lain? Jika aparat terdesak, kenapa pula tidak menghalau lewat tembakan
peringatan?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan, ada kemungkinan peristiwa itu bisa dicegah. Ia kemudian berjanji akan menghukum siapa pun yang terbukti lalai dan bersalah, entah itu polisi, personel pemerintah daerah, anggota Ahmadiyah, maupun massa penyerang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menyatakan, ada kemungkinan peristiwa itu bisa dicegah. Ia kemudian berjanji akan menghukum siapa pun yang terbukti lalai dan bersalah, entah itu polisi, personel pemerintah daerah, anggota Ahmadiyah, maupun massa penyerang.
Masalahnya, publik telanjur kurang
percaya bahwa pemerintah benar-benar akan bertindak tegas. Orang juga ragu akan
kemampuan pemerintah menyelesaikan urusan Ahmadiyah secara tuntas. Sebab,
insiden seperti itu sudah terlalu sering terjadi, dan pemerintah selalu tak
mampu melindungi anggota Ahmadiyah. Pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad ini
justru semakin kerap menjadi sasaran penyerangan setelah pemerintah
mengeluarkan surat keputusan bersama pada 2008. SKB yang diteken oleh Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu melarang kegiatan Ahmadiyah.
Di situ sebenarnya juga diatur bahwa
masyarakat tak boleh main hakim terhadap anggota Ahmadiyah, tapi ketentuan ini
terbukti tidak efektif. Surat keputusan itu justru dijadikan alat oleh
sekelompok masyarakat untuk melegalkan penyerangan. Warga Ahmadiyah dianggap
melanggar surat itu karena mereka menyiarkan ajaran sesat. Pemerintah mestinya
mencabut aturan yang kontroversial ini. Namun apa daya rupanya pemerintah belum
melakukan apapun yang berarti untuk mencegah kasus ini terjadi.
Ini menjadi bukti bahwa penegakan
kebebasan beragama di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kebebasan untuk
mengekspresikan keberagamaan di Indonesia nampaknya juga banyak mendapat
sorotan dari dunia internasional. Meskipun belum bisa dijadikan rujukan, data
terbaru yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat yang memasukkan Indonesia
dalam daftar pelanggaran berat kebebasan beragama bersama Afganistan,
Bangladesh, Belarus, Kuba, Mesir, dan Nigeria perlu dicermati ulang.
Setidaknya, laporan tahunan yang dirilis pertengahan tahun 2006 ini cukup
membuka mata untuk melihat sejauh mana Indonesia telah menjamin hak-hak
beragama warganya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berbicara tentang hubungan antar agama,
maka membicarakan mengenai pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai
secara berbeda-beda bagi setiap orang. Secara sosiologis, pluralisme agama
adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam
hal beragama.
Wacana pluralisme agama
adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga terdapat titik
temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang
namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat beragama tidak bisa
menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama
orang lain. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama
lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara
tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan
Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan
agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak
menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain
4.2 SARAN
agar terwujud ketentraman dan
kesejukan di dalam kehidupan beragama .
Untuk senantiasa memelihara dan
mewujudkan 3 model hidup yang meliputi:
Kerukunan hidup antar umat seagama
Kerukunan hidup antar umat beragama
Kerukunan hidup antar umat beragama
dan Pemerintah
Tri kerukunan hidup tersebut
merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa. Oleh karena itu di dalam
negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, anti
agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya
diwujudkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam
batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntutan agama masing-masing